11/18/2010
Angklung adalah mitologi dari Bahasa Bali, yaitu Ang yang berarti angka (berupa not) dan klung yang berarti rusak. Jadi, jika digabungkan angklung berarti angka yang rusak.
Dalam sejarah perkembangan musik Angklung, bentuknya yang sekarang merupakan adaptasi bentuk alat musik dari Filipina.
Perkembangan musik angklung pada mulanya yaitu berasal dari bambu wulung (wulung awi) yang dimainkan dengan cara dipukul-pukul. Permainan bambu tersebut bermula untuk menghormati binatang totem dan untuk menghormati dan menghargai pemberian hasil panen padi yang banyak dan baik dari Dewi Sri yang dipercaya sebagai dewi yang memberikan kesejahteraan.
Angklung dalam bentuk yang masih sederhana sudah dikenal masyarakat Sunda sejak masa Kerajaan Sunda. Angklung digunakan sebagai penyemangat dalam pertempuran. Pemacu semangat rakyat yang selalu berkobar setiap kali mendengar.
Pada abad ke 15, Islam berkembang pesat di Indonesia. Seni, budaya dan termasuk kesenian Angklung didalamnya digunakan sebagai metode cepat dalam penyebaran agama Islam terutama di Sanding Malangbong, kabupaten Garut .Ini disebut masa Angklung Badeng.
Dalam perkembangannya, Angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Musik angklung perlahan mulai berubah dan beradaptasi dengan perkembangan jamannya. Pada masa modern ini, musik angklung mulai berubah. Berawal dari Daeng Sutisna yang berhasil mengubah tangga nada petatonis menjadi diatonis (do,re,mi,fa,sol,la,si,do) pada tahun 1983. Dan perkembangan itu pun terjadi, misalnya pada KTT Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat. Musik Angklung modern dimainkan untuk acara resmi dalam Indonesia Ultimate Diversity tersebut, yaitu dalam lagu Indonesia Raya dan beberapa lagu daerah yang terkenal seperti Rasa Sayange, Ayo Mama, Burung Kakak Tua dan Bebek Angsa.
Pada jaman yang modern ini pula, kita masih dapat bersuka cita merasakan uniknya musik angklung di suatu saung angklung yaitu Saung Angklung Udjo (SAU) D i Bandung, Jawa Barat, tepatnya di Jl. Padasuka 118 Bandung. Saung Angklung Udjo, merupakan angsana singgasana angklung terbesar di dunia yang merupakan mahakarya dari Udjo Ngalagena, yang dibangun pada tahun 1961.
Pertunjukan ragam sajian Angklung orkestra mendapat sambutan. Menyebar dari mulut ke mulut, rombongan pecinta seni terus datang hingga sekarang. Saung Angklung Udjo kini harus membuat pentas setiap hari. Sebuah apresiasi besar masyarakat terhadap kesenian Angklung.
Atas dedikasinya, Saung Udjo kini menjadi pusat laboratorium pendidikan dan pelestarian budaya Sunda – Angklung khususnya. Nilai pagelaran, pusat kerajinan bambu yang setiap bulannya mencapai 1700 Angklung, hingga bengkel alat musik bambu menjadi lestari disini.
Di penghujung acara seniman-seniman cilik Saung Udjo ini mengajak para pengujung turun ke lantai pentas. berpegangan tangan dalam iringan suara benturan Angklung memainkan lagu “We Are The World”.
Angklung pun mulai diperkenalkan ke berbagai penjuru negara, dan dibawakan dalam bentuk lagu-lagu pop negara tersebut sehingga pertunjukkan angklung lebih menyenangkan dan akrab dengan penonton.
Jika pertunjukkan angklung ke berbagai Negara terus dipertahankan, maka dunia akan bahwa angklung adalah alat musik tradisional yang dapat dimainkan untuk lagu daerah maupun modern, yang berasal dari Indonesia.
http://angklunglovers.blogspot.com/2009/02/sejarah-angklung-indonesia.html
http://www.indonesiaculture.net/2010/01/angklung-bamboo%E2%80%99s-vivid-sounds/
1 Comment:
-
- Unknown said...
24 September 2017 pukul 11.19Maaf sebelumnya penulisan Nama tokoh dan tahunnya salah, bapak angklung yang membuat nada diatonis Daeng Soetigna bukan Sutisna dan tahunnya 1938 bukan 1983. Mohon diperiksa kembali sebelum di post. Terimakaksih