3/16/2013
Nama : Nizza Karima Azzahrah
Kelas : 3PA01
NPM : 15510016
Psikologi Eksistensial atau sekarang
berkembang dengan nama psikologi Humanistik atau psikologi holistic berawal
dari kajian filsafat yang diawali dari Sorean Kierkigard tentang eksistensi
manusia. Sebelum psikologi modern membuka dirinya pada pemikiran (school of
thought) berbasis emosi dan spiritual yang transenden, psikologi terlebih
dahulu dipengaruhi oleh ide-ide humanistik. Psikologi humanistik berpusat pada
diri, holistik, terobsesi pada aktualisasi diri, serta mengajarkan optimisme
mengenai kekuatan manusia untuk mengubah diri mereka sendiri dan masyarakat.
Terdapat gerakkan eksistensialisme pada abad 19 yang dikemukakan oleh seorang
filsuf bernama Søren Kierkegaard. Dalil utama dari eksistensialisme adalah
keberadaan (existence) individual manusia yang dialami secara subjektif.
Istilah eksistensi berasal dari akar
kata ex-sistere, yang secara literal berarti bergerak atau tumbuh ke
luar. Dengan istilah in hendak dikatakan oleh para eksistensialis bahwa
eksistensi manusia seharusnya dipahami bukan sebagai kumpulan
substansi-substansi, mekanisme-mekanisme, atau pola-pola statis, melainkan
sebagai “gerak” atau “menjadi”, sebagai sesuatu yang “mengada”.
Eksistensialisme adalah aliran
filsafat yang bersaha memahami kondisi manusia sebagaimana memanifestasikan
dirinya di dalam situasi-situasi kongkret. Kondisi manusia yang dimaksud
bukanlah hanya berupa ciri-ciri fisiknya (misalnya tubuh dan tempat
tinggalnya), tetapi juga seluruh momen yang hadir pada saat itu (misalnya
perasaan senangnya, kecemasannya, kegelapannya, dan lainnya). Manusia
eksistensial lebih sekedar manusia alam (suatu organisme/alam, objek) seperti
pandangan behaviorisme, akan tetapi manusia sebagai “subjek” serta manusia
dipandang sebagai satu kesatuan yang menyeluruh, yakni sebagai kesatuan
individu dan dunianya. Manusia tidak dapat dipisahkan sebagai manusia individu
yang hidup sendiri tetapi merupakan satu kesatuan dengan lingkungan dan
habitatnya secara keseluruhan.
Manusia (individu) tidak mempunyai
eksistensi yang dipisahkan dari dunianya dan dunia tidak mungkin ada tanpa ada
individu yang memaknakannya. Individu dan dunia saling menciptakan atau
mengkonstitusikan (co-constitute). Dikatakan saling menciptakan
(co-constitutionality), karena musia dengan dunianya memang tidak bisa
dipisahkan satu dari yang lainnya. Tidak ada dunia tanpa ada individu, dan
tidak ada individu tanpa ada dunia. Individu selalu kontekstual, oleh karena
sebab itu tidak mungkin bisa memahami manusia tanpa memahami dunia tempat
eksistensi manusia, melalui dunianyalah maka makna eksistensi tampak bagi
dirinya dan orang lain. Sebaliknya individu memberi makna pada dunianya, tanpa
diberi makna oleh individu maka dunia tidak ada sebagai dunia.
Psikologi eksistensial adalah ilmu
pengetahuan empiris tentang eksistensi manusia yang menggunakan metode analisis
fenomenologis. psikologi eksistensial bertentangan dengan pemakaian konsep kausalitas
yang berasal dari ilmu-ilmu pengetahuan alam dalam psikologi.
Terapi
Inti terapi eksistensial adalah
hubungan antara terapi dengan kliennya. Hubungan ini disebut pertemuan.
Pertemuan adalah kehadiran asal satu Dasein kehadapan Dasein yang lain, yakni
sebuah “ketersingkapan” satu Dasein terhadap yang lainnya. Berbeda dengan
terapi-terapi formal, seperti terapi gaya Freud, atau terapi-terapi yang
“teknis”, seperti terapi gaya behavioris, para terapis eksistensial sepertinya
ingin terlibat intim dengan Anda. Saling beri dan saling terima adalah bagian
paling alami dari pertemuan, bukan untuk saling menghakimi dan memojokkan.
(Boeree, C.George, 2004)
Para analasis eksistensial menyadari
kompleksitas manusia yang mereka hadapi di ruang-ruang praktek mereka. Mereka
menyadari bahwa manusia bukan hanya merupakan makhluk biologis atau fisik,
melainkan juga sebagai makhluk yang unik dan mempunyai kesadaran. Dengan
perkataan lain, manusia tidak lain adalah tubuh (organisme) yang berkesadaran.
Oleh sebab itu, mereka beranggapan bahwa pendekatan analisis eksistensial
tentunya diperlukan, karena menwarkan kejernihan analisis atas pasien-pasien
mereka. Gejala manusia dan pengalaman-pengalamannya tentu saja tidak bisa
dikuantitafikasikan dan digeneralisasi begitu saja. Perlu pengungkapan yang
lebih spesifik. Analisis eksistensial dianggap mampu melakukan tugas itu.
Dalam analisis eksistensial yang
dilakukan Binswanger sebagai metode baru yang berbeda dari metode-metode yang
ada sebelumnya, terlihat dalam kasus yang ditanganinya yaitu kasus “Ellen West”
yang merupakan salah seorang pasiennnya. Binswanger mengadakan analisis
fenomenologis mengenai tingkah lakunya dan menggunakan penemuan-penemuan
tersebut untuk merumuskan eksistensi atau cara-cara ada-di-dunia pasien
tersebut. Ia menyelidiki arsip-arsip di Sanotarium dan memilih kasus seorang
gadis muda, yang pernah berusaha untuk melakukan bunuh diri. Kasus ini menarik
karena selain buku harian, catatan-catatan pribadi dan puisi-puisinya yang
penuh pesona, juga karena sebelum dirawat di sanotarium, ia telah dirawat lebih
dari dua periode oleh para psikoanalis dan selama di sanitarium ia telah
menerima perawatan dari Bleuler dan Kraepelin. Dalam analisis eksistensial
(yang tekanannya lebih pada terapi), Binswanger pertama-tama menganalisis
asumsi-asumsi yang mendasari hakekat manusia kemudian ia berhasil sampai pada
pemahaman mengenai struktur tempat diletakkannya segenap system terapeutik.
(Zainal A., 2002)
Medard Boss menggunakan analisis
mimpi dalam terapinya terhadap seorang pasien yang menderita
obsesional-complusive. Pasien ini menderita kompulsi-kompulsi untuk mencuci
tangan dan membersihkan, ia sering bermimpi tentang menara-menara gereja.
Pasien ini sebelumnya telah menjalani analisa Freudian dan menginterpretasikan
isi mimpi tersebut sebagai simbol-simbol phalik serta menjalani analisa Jungian
yang menghubungkannya dengan simbol-simbol arketif
religius. Dalam dengan Boss sang pasien menceritakan tentang mimpi-mimpinya
yang datang berulang-ulang seperti ia mendekati sebuah pintu kamar mandi yang
selalu terkunci. Boss menunjukkan dalam pembahasannya tenang kasus itu bahwa
pasien merasa bersalah, karena telah mengunci beberapa potensi yang sangat
penting dalam dirinya. Ia mengunci baik kemungkinan-kemungkinan pengalaman
badaniahnya maupun spiritualnya atau aspek “dorongannya” dan aspek “tuhannya”,
semua itu dilakukannya untk melarikan diri dari semua masalah yang dihadapinya.
Menurutnya pasien merasa bersalah bukan semata-mata bahwa ia mempunyai rasa
bersalah. Pasien tidak menerima dan tidak memasukkan kedua aspek tersebut ke
dalam eksistesinya, maka ia merasa bersalah dan berhutang pada dirinya.
Pemahaman mengenai rasa bersalah tidak ada hubungannya dengan sikap menilai
(“judgmental attitude”), yang perlu dilakukan hanyalah memperhatikan kehidupan
dan pengalaman pasien secara sungguh-sungguh dan penuh rasa hormat.
Sumber : http://www.psychologymania.com/2011/09/psikologi-eksistensial.html
(Abidin, Zainal, 2002. Analisis Eksistensial untuk psikologi dan psikiatri,
Bandung: PT Refika Aditama., Boeree, C.George, 2004. Personality Theories, Yogyakarta)